Peneliti menyebut, proses itu adalah bentuk transformasi spiritual.
Ia menjadi simbol bagaimana seorang raja Sunda mampu memadukan nilai-nilai lokal dengan keislaman tanpa konflik.
Dari Pajajaran ke Cirebon: Akulturasi yang Damai
Ketika putranya mendirikan Kesultanan Cirebon, tak ada perang antara Pajajaran dan Cirebon.
Yang ada adalah perpindahan nilai.
Dari keraton Hindu-Buddha menuju kerajaan Islam yang baru, tetapi tetap Sunda dalam bahasa, adat, dan rasa.
Itulah kekuatan akulturasi yang diwariskan Prabu Siliwangi, yaitu tidak menolak perubahan, tapi menyatu dengan bijak.
Ia mengajarkan bahwa iman tidak harus menghapus budaya, melainkan memuliakannya.
Teladan untuk Indonesia Kini
Kisah Prabu Siliwangi memberi pelajaran penting di masa kini yaitu toleransi dan dialog antar budaya adalah kunci persatuan.
Dalam dunia yang mudah terpecah oleh perbedaan, warisan Siliwangi justru menunjukkan bagaimana agama bisa memperkuat identitas, bukan memusnahkannya.
Prabu Siliwangi bukan hanya simbol kejayaan masa lalu, tapi juga teladan spiritual lintas zaman.
Ia menunjukkan bahwa seorang pemimpin sejati tidak hanya memerintah dengan pedang, tapi juga dengan hati dan kebijaksanaan.
Dari Pajajaran hingga Citarum, dari masa lalu hingga kini, jiwa Siliwangi tetap hidup: menuntun manusia Sunda untuk selalu menyatukan iman, budaya, dan kemanusiaan.***