Purwakarta Online - Shakespeare, Sastrawan Inggris itu menasihatiku di pagi ini, sebelum aku menenteng tas ranselku di pundak.
"Hei, anak muda! Para pengecut selalu mencicipi rasa kematian sebelum meninggal dunia. Sedangkan para pemberani hanya merasakannya sekali saja," Berani?
Ungkapan soal kematian sebelum pada waktunya ini hampir persis dengan pepatah urang Sunda: Kumeok memeh dipacok.
Belum juga jarum suntik menusuk kulit, kita sudah menjerit maratan langit.
Kondisi ini tentu saja disebabkan oleh sikap, oleh cara kita merespon persoalan.
Baca Juga: Melatih Stoic dalam hidup yang genting: Para Filsuf menyarankan manusia untuk hidup santuy!
Karena faktor ketakutan umpamanya, kadang pikiran kita 'merekayasa' segala hal yang belum terjadi 'seolah-olah' itu semua sedang dan sudah terjadi.
Kekeliruan dalam berfikir, merespon, dan bersikap semacam ini sangat membahayakan stabilitas emosi dan kejiwaan kita.
Sebab hidup kita kelak dibayang-bayangi oleh sesuatu yang sesungguhnya belum atau tidak terjadi.
Rekayasa berfikir dan bersikap semacam ini lambat laun akan mengganggu psikologi kejiwaan kita. Lama-lama orang bisa gila.
Baca Juga: Mau bikin bisnis startup yang sukses? Pertimbangkan 4 hal ini!
Bagaimana kita bisa menghadapi kondisi semacam ini?
Tentu saja hanya soal mengubah cara pandang dan cara berfikir kita.
Jika untuk hal-hal negatif pikiran kita mampu merekayasa segala yang belum atau tidak terjadi, mengapa kita tidak mengarahkan pikiran kita untuk merekayasa hal-hal positif?
Tentu saja butuh berlatih dan membiasakan cara berfikir. Kita butuh input yang berkualitas. Membaca buku atau bahan yang kredibel, berdiskusi dengan orang yang positif, dan coba mengendalikan pikiran sebaik mungkin.