Antara Agribisnis dan Agrikultur, Obrolan Petani 'Underdog'
PURWAKARTA ONLINE - Pernah suatu hari saya berbincang santai dengan Ichwansyah Wiradimadja, seorang mahasiswa pascasarjana di Universitas Padjadjaran (UNPAD) asal Purwakarta. Karena latar belakang kami sebagai petani, topik obrolan kami tentu tak jauh-jauh dari pertanian.
Obrolan dimulai dari kegelisahan bersama: kenapa lulusan pertanian justru banyak yang bekerja di luar sektor pertanian, seperti di bank atau sektor jasa lainnya? Bahkan lebih jauh, kami mempertanyakan — kenapa banyak sarjana pertanian yang justru merasa "tidak bisa" bertani?
Apakah ada yang salah dalam sistem pendidikan?
Kami berdua pun merasa hal yang sama. Ichwansyah lulusan pertanian dan peternakan, saya dari jurusan manajemen agribisnis. Tapi dalam hal praktik bertani, kami bisa dibilang 'underdog'. Lalu kami mencoba mencari pembenaran. Salah satu yang kami temukan—meskipun belum tentu sepenuhnya benar—adalah bahwa apa yang diajarkan di bangku kuliah pertanian di Indonesia masih mengacu pada tantangan pertanian era 90-an.
Artinya, kurikulumnya ketinggalan zaman. Namun, jawaban ini pun kami sadari belum tentu valid. Tapi sementara ini, itu menjadi salah satu alasan kenapa kami, dan mungkin banyak lulusan pertanian lain, merasa tidak relevan dengan praktik di lapangan saat ini.
Lalu obrolan berlanjut. Saya bertanya kepada Ichwansyah, “Menurut kamu, seperti apa pertanian yang cocok dan menguntungkan untuk dikembangkan di Indonesia?”
Ia menjawab bahwa kiblat pertanian Indonesia seharusnya bukan ke Amerika, tapi ke Eropa.
Saya penasaran. Apa bedanya?
Menurutnya, pertanian Amerika identik dengan skala besar — bisa sampai puluhan hektare, berorientasi penuh pada agribisnis. Sementara di Eropa, pertanian cenderung bersifat kecil (small-scale) dan berbasis rumah tangga. Bertani bukan semata untuk dijual, tapi untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga.
Saya pun langsung teringat pada tayangan TV yang menampilkan pemuda-pemuda di Italia yang resign dari pekerjaan, lalu pindah ke desa untuk bertani di belakang rumah.
Di sini kami mulai membedakan antara agribisnis dan agrikultur.
Agribisnis adalah pendekatan bisnis terhadap pertanian. Fokusnya keuntungan.
Agrikultur, dari kata "agri" dan "culture", lebih merujuk pada budaya bertani, dengan kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat.