Ichwansyah bercerita bahwa ada seorang mahasiswa pascasarjana asal Inggris di UNPAD, yang menerapkan praktik bertani kecil di belakang rumah kosnya di Jatinangor. Ia menanam sayur dan tanaman pangan untuk konsumsi pribadinya. Makan dari apa yang ia tanam. Menanam apa yang ia makan.
Menurut Ichwansyah, pendekatan seperti ini lebih cocok di Indonesia. Ia bahkan mengajak saya untuk melihat langsung praktik itu di Jatinangor.
Obrolan kami pun membawa ingatan saya ke pidato Kang Dedi Mulyadi (KDM) saat mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Barat (lihat video visi pertanian Dedi Mulyadi). Di depan para petani di Lembur Pakuan, Subang, beliau dengan tegas berkata: "Kalau bicara soal padi, jangan bahas untung. Karena dari dulu bertani padi itu tidak menguntungkan, tapi sangat berkah."
Ia memberi contoh bapaknya sendiri, dengan sawah seluas 5.000 meter yang cukup untuk menghidupi keluarganya yang besar, dengan 9 anak. Menurut KDM, bertani bukan hanya soal bisnis. Tapi soal warisan budaya, soal hidup yang damai, dan nilai-nilai luhur yang perlu dijaga. Pendekatan beliau jelas lebih condong pada agrikultur, bukan agribisnis.
Dari diskusi itu saya semakin yakin, bahwa jika bicara tentang ketahanan pangan dan kemandirian, maka bertani untuk konsumsi pribadi adalah pilihan yang masuk akal di Indonesia.
Terlebih ketika saya mendengar cerita dari Kang Deni Ahmad Haidari, Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Bidang Pertanian. Ia menjelaskan bagaimana pemerintah Tiongkok benar-benar mengintervensi pertanian: setiap wilayah pertanian terkoneksi dengan jalan tol, tersedia gudang penyimpanan berpendingin, dan infrastruktur yang terintegrasi sampai ke pelabuhan ekspor.
Bawang dari Jawa Tengah bisa kalah harga dengan bawang dari Tiongkok bukan karena petani kita tidak hebat, tapi karena infrastrukturnya tertinggal jauh. Belum lagi soal perizinan dan kebijakan yang belum berpihak penuh pada petani.
Menurut Kang Deni, banyak negara berani “nombok” demi sektor pertanian. Karena pangan adalah urusan negara, bahkan lebih penting dari pertahanan militer. Ketika pangan terganggu, negara bisa goyah.
Maka, jika Indonesia tidak mampu bersaing secara infrastruktur dengan Tiongkok, mungkinkah pilihan terbaik kita adalah kembali ke model pertanian lokal yang mandiri? Bertani untuk makan sendiri. Mencukupi kebutuhan daerah, bukan menyaingi skala global.
Itulah sebagian kecil dari obrolan yang saya bagi di sini. Mudah-mudahan bisa menjadi bahan diskusi.
Menurut Anda, pertanian yang cocok di Indonesia itu seperti apa?***
*Ditulis oleh Enjang Sugianto, petani asal Kabupaten Purwakarta, pernah belajar di Polytechnic Education Development Center for Agriculture (PEDCA) Universitas Padjadjaran.
Artikel Terkait
Matcha: Teh Hijau Premium yang Mulai Diproduksi Petani Inovatif Asal Purwakarta
Petani Purwakarta Tutup Kebun Teh, Strategi Rahasia Bikin Matcha Lokal Kualitas Tinggi
Matcha Khas Purwakarta Mulai Diracik, Inovasi Petani Muda Bangkitkan Teh Lokal
Purwakarta Siap Punya Matcha Sendiri, Petani Teh Lakukan Inovasi demi Bertahan di Tengah Krisis
Apa Bedanya Matcha dan Teh Hijau Biasa? Petani Teh Purwakarta Ungkap Proses Khusus Produksi Matcha
Inovasi Matcha Khas Purwakarta, Upaya Anak Muda Selamatkan Pertanian Teh yang Terancam
Rahasia di Balik Matcha Purwakarta, Inovasi Pucuk Teh Lokal
Apa Kabar Usaha Tani Teh di Purwakarta?
Purwakarta Hujan Setiap Hari, 'Untung' Panen Cengkeh sedang Tidak Bagus
Mengapa Anak Muda Enggan Bertani? Ini 4 Alasan Utamanya