Purwakarta Online - Film terbaru Hanung Bramantyo, Gowok: Kamasutra Jawa, menyajikan sesuatu yang belum pernah diangkat secara terang-terangan oleh film Indonesia sebelumnya.
Dengan judul yang menggelitik, film ini justru mengejutkan karena berani mengupas sejarah dan seksualitas dalam budaya Jawa dari sudut pandang feminisme dan humanisme, bukan sekadar eksploitasi.
Sebagaimana kita tahu gawok adalah kisah tentang profesi kuno yang dijalani perempuan Jawa: menjadi guru seks bagi calon pengantin pria.
Pekerjaan ini sudah ada sejak abad ke-15, dipercaya merupakan hasil akulturasi budaya China dan Jawa.
Baca Juga: Video Diduga Milik Its Anggi Bocor dan Viral di Terabox, Waspada Malware dan Risiko Hukum
Film ini Tujuannya untuk Membentuk “lelananging jagad” laki-laki ideal yang mampu membahagiakan istrinya, secara fisik dan emosional.
Film ini mengambil latar waktu antara 1955–1965, saat Nyai Santi, seorang gowok kawakan, mengajarkan para pemuda tentang seni kepuasan batin dan ragawi dalam pernikahan.
Tradisi yang jawa yang sudah kuno ini dijalani dalam kerangka budaya dan spiritualitas yang rumit.
Jika dibandingkan dengan film Hanung sebelumnya seperti Tuhan, Izinkan Aku Berdosa (2023), Gowok jauh lebih lugas dalam menghadirkan posisi moral di antara isu abu-abu.
Dalam film ini ada adegan dewasa terutama terkait tubuh perempuan dan pendidikan seksual dalam budaya patriarkal.
Film ini tidak hanya memperlihatkan hubungan intim, tapi mengangkat wacana sosial soal peran dan kuasa perempuan dalam tradisi.
Dengan rating 21+, film ini menghadirkan adegan kekerasan dan trauma, namun tidak menjual sensualitas murahan.
Dalam film ini penonton akan diajak merenungkan peran perempuan, cinta, dan pernikahan dari sudut budaya Jawa yang sering dianggap tabu.