Penjaga situs, Atep, menuturkan bahwa ritual siraman dilakukan dengan tata cara tertentu, seperti berendam dan berkumur tiga kali bukan untuk meminta berkah pribadi, melainkan untuk membersihkan hati dan pikiran.
Baca Juga: Masuk Daftar Usulan Pahlawan Nasional, Cak Imin Sebut Demokrasi Indonesia Kuat karena Gus Dur
Dalam pandangan Basor dkk., tindakan ini bukan bentuk sinkretisme, tetapi transformasi spiritual, yaitu usaha menyatukan nilai kesucian lokal dengan ajaran tauhid dalam Islam.
Air yang identik dengan jernih, mengalir, menyejukkan menjadi simbol perjalanan batin menuju keikhlasan dan pencerahan.
Relevansi dan Refleksi Kisah Prabu Siliwangi
Kisah Prabu Siliwangi di mata air Citarum mengajarkan bahwa spiritualitas sejati bukan soal kekuasaan, melainkan kesadaran akan diri dan Sang Pencipta.
Dalam dunia modern yang serba cepat dan bising, pesan beliau terasa semakin relevan: pembersihan batin adalah fondasi kemanusiaan dan kebijaksanaan.
Baca Juga: BPK Temukan Penyimpangan Dana BOS di 10 SMPN Purwakarta, Nilai Kerugian Capai Rp2,2 Miliar
Sebagaimana air yang terus mengalir dari Gunung Wayang ke Citarum, demikian pula nilai-nilai Prabu Siliwangi terus mengalir dalam kebudayaan Sunda, menuntun generasi masa kini untuk hidup selaras dengan alam dan Tuhan.
Prabu Siliwangi bukan hanya legenda masa lalu, tetapi cermin abadi dari perjuangan spiritual manusia.
Laku tapa dan penyucian diri di Citarum menegaskan bahwa pemahaman terhadap Islam di Tatar Sunda tumbuh dari penghayatan batin yang tulus, bukan pemaksaan doktrin.
Melalui simbol air dan kesunyian, beliau mengajarkan tentang keteguhan, kerendahan hati, dan pencarian hakikat hidup.
Baca Juga: Aktivis Desak Kejari Usut Dana BOS Purwakarta Rp 2,2 M: Ini Kejahatan Terencana
Kisah ini menjadi pengingat bahwa sejarah bukan sekadar masa lampau, melainkan cermin bagi masa kini, agar manusia tidak kehilangan arah dalam derasnya arus zaman.***
Sumber utama: