PURWAKARTA ONLINE - Nama Prabu Siliwangi senantiasa hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Sunda, bukan sekadar legenda, tetapi simbol kebijaksanaan, keberanian, dan spiritualitas yang mendalam.
Dari kisah kepemimpinannya yang adil hingga perjalanan batinnya di mata air Citarum, sosok ini menampilkan perpaduan unik antara kekuasaan duniawi dan pencarian makna ilahi.
Penelitian terbaru oleh Saepul Basor dan rekan-rekan (2025) menyingkap sisi spiritual Prabu Siliwangi melalui praktik tapa dan penyucian diri di hulu Citarum, yang memperlihatkan bagaimana nilai-nilai Islam diresapi lewat tradisi lokal.
Latar Historis dan Konteks Akademis
Dalam catatan sejarah, Prabu Siliwangi diyakini memerintah Kerajaan Sunda-Galuh (Pakuan Pajajaran) antara tahun 1482-1521 M.
Baca Juga: Marsinah Resmi Jadi Pahlawan Nasional, Simbol Perjuangan Buruh di Era Orde Baru
Ia dikenal sebagai Sri Baduga Maharaja, raja besar yang membawa Pajajaran pada masa keemasan, dengan kondisi negeri yang makmur, damai, dan beradab.
Penelitian Basor dkk. (2025) menelusuri berbagai naskah klasik seperti Carita Parahyangan dan Purwaka Caruban Nagari, serta mengaitkannya dengan tradisi lisan masyarakat Tatar Sunda.
Dari sana, tampak bahwa Prabu Siliwangi tidak hanya tokoh politik, melainkan figur spiritual yang menempuh laku tapa sebagai sarana memahami hakikat ketuhanan.
Menariknya, pendekatan ini menggabungkan kajian folklor dan interpretasi simbolik, sehingga menempatkan Prabu Siliwangi sebagai jembatan budaya antara nilai-nilai Sunda kuno dan ajaran Islam.
Analisis dan Interpretasi Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ritual penyucian diri Prabu Siliwangi di mata air Citarum mencerminkan proses tasawuf, upaya mendekatkan diri kepada Tuhan melalui kontemplasi dan pembersihan batin.
Situs Situ Cisanti, yang kini dikenal sebagai titik nol Sungai Citarum, dipercaya sebagai lokasi beliau bertapa. Di sana, jejak kaki yang diyakini milik Prabu Siliwangi menjadi simbol wasilah antara manusia, alam, dan spiritualitas.