Namun, sejarah formal Pajajaran justru mencatat Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja) sebagai raja dengan komitmen kuat terhadap tradisi leluhur Hindu-Sunda.
Jadi, benarkah beliau Muslim? Atau hanya berinteraksi dengan Islam?
Jawaban ilmiahnya lebih halus: spiritualitasnya bersifat akulturatif, tidak ekstrem, dan fleksibel.
Sikap Toleran: Bukti Pendekatan Spiritual Terhadap Islam
Penelitian Basor dkk. mencatat bahwa Prabu Siliwangi tidak menolak Islam, justru memberi ruang bagi putra-putrinya untuk memeluk agama itu dan menyebarkannya di wilayah Sunda. Dalam konteks abad ke-15, sikap ini sangat revolusioner.
Beliau:
- Menikahi Subang Larang, seorang Muslimah.
- Mengizinkan anak-anaknya dididik oleh ulama besar Syekh Datuk Kahfi.
- Merestui kiprah Walangsungsang dalam membangun Cirebon sebagai pusat dakwah Islam.
- Menyaksikan cucunya, Sunan Gunung Jati, menjadi salah satu Wali Songo.
Baca Juga: Masuk Daftar Usulan Pahlawan Nasional, Cak Imin Sebut Demokrasi Indonesia Kuat karena Gus Dur
Namun, di sisi lain, sebagai raja, ia tetap menjaga tradisi kabuyutan, ritual leluhur, dan struktur keagamaan Pajajaran yang bercorak Hindu-Sunda.
Ini memberikan gambaran bahwa agama baginya adalah ruang pencarian, bukan sekadar label formal.
Laku Tapa dan Penyucian Diri: Jalan Spiritual ala Sunda yang Selaras dengan Tasawuf
Salah satu temuan penting jurnal ini adalah hubungan antara ritual tapa Prabu Siliwangi dan simbolisme mata air Citarum.
Peneliti menemukan bahwa Prabu Siliwangi melakukan meditasi dan penyucian diri di hulu Sungai Citarum, khususnya di kawasan Situ Cisanti, Gunung Wayang .
Ritual itu bukan sekadar mandi, tetapi proses spiritual:
- melepas ego,
- membersihkan hati,
- memahami hakikat hidup,
- dan mendekatkan diri pada nilai-nilai ketauhidan.
Pemelihara situs (Atep), generasi ketujuh penjaga tradisi, menjelaskan tata cara ritual ini, termasuk berendam tiga kali dan berkumur tiga kali, sebuah simbol penyucian diri, bukan permohonan pada selain Tuhan.