PURWAKARTA ONLINE - Opini, Di satu sisi negeri, terlihat meja makan penuh kepiting raksasa, lobster segar, dan anggur mahal.
Tagihan makan mencapai jutaan rupiah per orang. Di sisi lain, ada ibu-ibu mengais-ngais tempat sampah, mencari sisa nasi bungkus untuk bertahan hidup sehari lagi. Ironis? Tidak. Ini Indonesia.
Inilah potret yang membentur logika dan nurani: pejabat negara memamerkan kemewahan di tengah jeritan rakyat yang kehilangan pekerjaan, kehilangan harapan, bahkan kehilangan harga diri.
Di pasar, harga beras terus naik. 5 kilogram beras tembus Rp70.000 hingga Rp100.000. Tapi yang menyakitkan bukan hanya mahalnya harga, melainkan murahnya empati mereka yang berkuasa.
Baca Juga: Ramalan Zodiak Aquarius Kamis 11 September 2025, Reshuffle Kabinet Cermin Perubahan Hidup
Saat rakyat mulai bersuara, mereka dicap "provokator", "perusuh", bahkan "dibayar asing". Padahal banyak demonstrasi lahir dari rasa muak, dari keputusasaan yang memuncak.
Lalu seperti biasa, negara hanya merespons dengan pengalihan isu dan penghargaan-penghargaan palsu bahkan terhadap mereka yang seharusnya diadili.
Lihat bagaimana negara ini merespons kritik: bukan dengan introspeksi, tapi dengan defensif, represi, dan retorika. Seolah-olah, yang salah selalu rakyat.
Seolah yang memperjuangkan keadilan hanya sedang "dimanfaatkan kekuatan asing". Padahal, siapa yang selama ini menjual tanah air ke investor luar? Siapa yang diam saat judi online merajalela hingga ratusan triliun?
Baca Juga: Nepal Memanas: 22 Tewas, Gedung Parlemen Dibakar, Ketimpangan Ekonomi Picu Amarah Rakyat
Justru logika kapital dijadikan senjata: selama menguntungkan, ya lanjut. Lupa bahwa teori investasi terbesar bukan hanya soal modal, tapi tentang strategi: kapan menyerang, kapan bertahan, kapan mundur.
Bahkan jenderal perang legendaris Tiongkok, Sun Tzu, mengajarkan bahwa kemenangan tertinggi adalah ketika musuh dikalahkan tanpa harus berperang.
Tapi sayang, para pemimpin kita tak punya taktik. Mereka hanya tahu cara pesta. Masalah pangan tak bisa hanya dilihat dari sisi panen atau impor. Kita lupa bahwa distribusi adalah kunci.
Petani menumpuk stok, tapi beras sulit masuk ke warung-warung. Pemerintah tak punya jejaring niaga yang kuat di akar rumput. Akhirnya, beras busuk di gudang, rakyat tetap beli mahal di pasar. Yang disalahkan? Lagi-lagi rakyat.
Artikel Terkait
Ekonomi Nepal di Ambang Krisis Sosial: Ketimpangan Tajam, Pengangguran Tinggi, Rakyat Marah
BRI Perkuat Koperasi Merah Putih, Dukung Akses Pembiayaan dan Usaha Mandiri Desa di Seluruh Indonesia
Satpol PP Purwakarta Tertibkan Bangunan Liar Bahu Jalan di Wanayasa, Prioritaskan Ketertiban Publik
Ramalan Zodiak Kamis 11 September 2025, Reshuffle Kabinet Prabowo Bawa Energi Baru Kehidupan
Ramalan Zodiak Aries Kamis 11 September 2025, Reshuffle Kabinet Prabowo Bawa Energi Baru
Ramalan Zodiak Taurus Kamis 11 September 2025, Stabilitas Terguncang Usai Reshuffle Kabinet
Ramalan Zodiak Gemini Kamis 11 September 2025, Reshuffle Kabinet Buka Jalan Ide Baru
Ramalan Zodiak Cancer Kamis 11 September 2025, Reshuffle Kabinet Prabowo Bawa Energi Baru
Ramalan Zodiak Leo Kamis 11 September 2025, Reshuffle Kabinet Jadi Cermin Ambisi Anda
Ramalan Zodiak Virgo Kamis 11 September 2025, Reshuffle Kabinet Tegaskan Pentingnya Detail