PURWAKARTA ONLINE - Di tengah arus modernisasi dan gaya hidup urban yang makin kompleks, muncul fenomena relasi transaksional yang kerap dibicarakan diam-diam.
Lewat film Sugar Daddy, isu ini tak lagi disembunyikan—justru dibongkar secara berani dan emosional lewat sudut pandang perempuan yang kerap kali menjadi pihak yang dirugikan.
Antara Cinta, Uang, dan Pilihan yang Terpaksa
Sugar Daddy bukan sekadar tontonan romantis penuh gemerlap.
Di balik kehidupan glamor yang ditampilkan, film ini mengajak penonton melihat sisi kelam dari hubungan berbasis kepentingan.
Tokoh utamanya, seorang perempuan muda, harus memilih antara bertahan dalam himpitan ekonomi atau menerima kenyamanan dengan harga yang tak terlihat—harga diri.
Baca Juga: Sugar Daddy: Film yang Diam-Diam Menggugat Ketimpangan Gender?
Relasi yang ia jalani bukan semata soal cinta atau nafsu, melainkan kebutuhan akan kestabilan hidup yang tak bisa dipenuhi oleh dunia kerja biasa.
Inilah wajah nyata dari ketimpangan yang sering kali menempatkan perempuan pada posisi lemah.
Ketika Tubuh dan Emosi Menjadi Komoditas
Film ini menyentuh hal-hal yang sering dianggap tabu: perempuan sebagai objek, tubuh sebagai alat tukar, dan emosi sebagai nilai jual. Dengan pendekatan emosional dan dialog tajam, Sugar Daddy mengupas bagaimana sistem sosial menormalisasi relasi kuasa yang timpang.
Yang lebih menyentuh, film ini tidak menyalahkan siapa pun secara hitam-putih. Baik si perempuan maupun si pria, sama-sama korban dari sistem sosial yang memaksa mereka mengisi kekosongan dengan relasi yang rapuh.
Viral dan Relevan
Tak butuh waktu lama bagi Sugar Daddy untuk menjadi topik hangat di media sosial.