Jejak Pemisahan dan Jalan Pulang: Masa Depan Pertanian dan Peternakan Terpadu di Indonesia

photo author
- Jumat, 6 Juni 2025 | 23:07 WIB

Purwakarta Online - Integrated farming (pertanian terpadu) adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan berbagai kegiatan seperti budidaya tanaman, peternakan, dan perikanan untuk menciptakan pertanian yang lebih produktif dan berkelanjutan. Sistem ini bertujuan untuk memanfaatkan keterkaitan antara berbagai komponen pertanian untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya alam, meningkatkan efisiensi produksi, dan mendukung pelestarian lingkungan. Sejak zaman dahulu Indonesia sudah menerapkan hal ini, lalu mengapa sekarang terpisah? berikut jejak singkat perjalanan pertanian terpadu di Indonesia. 

Pendahuluan

Pada masa lalu, sistem produksi pangan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, menerapkan integrasi antara pertanian dan peternakan. Dalam model ini, limbah dari satu sektor dimanfaatkan oleh sektor lainnya secara efisien: kotoran ternak menjadi pupuk, limbah tanaman menjadi pakan, dan air limbah digunakan untuk irigasi atau budidaya ikan. Sistem ini membentuk siklus nutrien yang tertutup dan berkelanjutan. Namun, sejak era industrialisasi, pertanian dan peternakan dipisahkan secara struktural. Artikel ini membahas mengapa pemisahan tersebut terjadi, dampaknya terhadap lingkungan dan keberlanjutan, serta mengapa integrasi keduanya perlu dikembalikan dalam konteks pertanian berkelanjutan.

Pemisahan akibat Industrialisasi

Salah satu faktor utama pemisahan antara pertanian dan peternakan adalah industrialisasi. Dalam prinsip industri, efisiensi dicapai melalui spesialisasi dan produksi massal. Prinsip ini diadopsi ke sektor pertanian: petani hanya menanam satu jenis tanaman (monokultur), dan peternak hanya memelihara satu jenis ternak dalam jumlah besar. Hal ini dianggap menguntungkan secara ekonomi karena meningkatkan produktivitas dan efisiensi tenaga kerja.

Mekanisasi dan kemajuan teknologi turut mempercepat pemisahan ini. Traktor, mesin tanam, kandang modern, dan sistem pemberian pakan otomatis memungkinkan produksi dalam skala besar tanpa perlu ketergantungan pada siklus alami. Pupuk kimia menggantikan pupuk kandang, sedangkan pakan pabrikan menggantikan limbah tanaman. Revolusi Hijau juga berperan besar dalam transisi ini, dengan mempromosikan penggunaan varietas unggul, pupuk anorganik, dan pestisida untuk meningkatkan hasil panen secara cepat dan signifikan.

Di sisi lain, integrasi sistem produksi pangan ke dalam rantai pasok global juga menyebabkan fragmentasi antara pertanian dan peternakan. Standarisasi kualitas dan kuantitas produk untuk memenuhi permintaan pasar membuat sistem produksi harus terkontrol dan seragam, sehingga integrasi lokal yang bersifat variatif dianggap kurang efisien. Kebijakan pemerintah dan regulasi yang terfokus pada subsektor juga memperparah pemisahan ini, misalnya dengan menyediakan subsidi hanya untuk pakan atau pupuk kimia.

Konteks Indonesia: Sejarah Peralihan dan Dampaknya

Di Indonesia, pemisahan sistem pertanian dan peternakan mulai nyata sejak era Orde Baru, terutama pada pertengahan hingga akhir 1970-an hingga 1990-an. Proses ini dipengaruhi oleh penerapan Revolusi Hijau yang menekankan produktivitas tanaman pangan (khususnya padi) dengan input tinggi seperti pupuk anorganik dan pestisida.

Pada periode 1969–1993, pemerintah meluncurkan program Bimas dan Inmas yang mendorong petani untuk meninggalkan pupuk kandang dan menggantinya dengan urea dan SP-36. Bersamaan dengan itu, berkembang pula sistem peternakan ayam ras dalam skala besar, terutama di Jawa dan Sumatra. Peternakan ayam broiler dan layer berkembang dalam skema kemitraan perusahaan, dan umumnya tidak berlokasi di lahan pertanian masyarakat.

Contoh nyata dapat dilihat dari:

  • Sistem padi-sapi tradisional di Jawa Tengah dan NTB yang dulu berjalan secara terpadu, mulai ditinggalkan karena desakan intensifikasi padi dan minimnya dukungan terhadap peternakan rakyat.
  • Pertumbuhan peternakan ayam ras di Jawa Barat dan Lampung, yang meminggirkan ternak lokal dan menghasilkan limbah tanpa pemanfaatan kembali.
  • Program integrasi sawit-sapi (PIR-SS) pada awal 2000-an yang menunjukkan potensi tetapi kurang berhasil karena pendekatan top-down dan tidak berbasis komunitas petani.

Pemisahan ini mengakibatkan terputusnya siklus nutrisi alami, menurunnya kesuburan tanah, dan meningkatnya ketergantungan pada input eksternal. Ketahanan pangan lokal pun terganggu karena sistem produksi menjadi lebih rapuh terhadap guncangan pasar dan lingkungan.

Konsekuensi Pemisahan

Pemisahan antara pertanian dan peternakan membawa dampak serius terhadap lingkungan dan keberlanjutan. Di satu sisi, peternakan intensif menghasilkan limbah dalam jumlah besar yang tidak termanfaatkan sebagai pupuk. Di sisi lain, lahan pertanian kehilangan sumber pupuk organik yang penting bagi kesuburan tanah. Akibatnya, petani bergantung pada pupuk kimia, yang dalam jangka panjang menyebabkan degradasi tanah dan pencemaran air.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Ichwansyah Wiradimadja

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X