Charles menilai, pernyataan BGN tidak konsisten. Awalnya, Wakil Kepala BGN, Nanik, menyatakan akan melarang produk UPF seperti sosis, nugget, hingga roti pabrikan.
Namun, Deputi BGN Tigor Pangaribuan mengeluarkan surat yang memperbolehkan UPF selama diproduksi oleh UMKM lokal.
“Maksud saya gini Pak, Bapak Ibu di BGN ngerti nggak sih ultra processed food itu apa? Berarti ini kan bukan melarang, tapi mengarahkan pembelian lewat UMKM,” sindir Charles.
Menurutnya, masalah utama bukan sekadar soal siapa yang memproduksi, melainkan kandungan gizi dari UPF itu sendiri.
“Ada komitmen dari BGN ke depan bahwa ultra processed food harus hilang dari menu yang disajikan pada anak-anak,” tegasnya.
Suara Ahli Gizi: Kritik Menu Burger dan Spaghetti
Kritik serupa datang dari ahli gizi Tan Shot Yen, yang menyoroti penggunaan bahan impor seperti gandum untuk menu burger dan spaghetti.
Baca Juga: Purna Tugas Atang Kusmana, 20 Tahun Dedikasi Penyuluh Pertanian di Purwakarta
“Yang dibagi burger, padahal gandum tidak tumbuh di bumi Indonesia. Anak-anak jadi terbiasa dengan makanan yang jauh dari kearifan lokal,” ujar Tan.
Meski begitu, BGN berdalih bahwa menu seperti burger atau spaghetti hanya sesekali muncul, sesuai permintaan siswa agar tidak bosan.
“Pokoknya satu minggu anak-anak boleh request makanan yang belum pernah mereka coba,” jelas Nanik.
MBG: Antara Gizi, Ekonomi Lokal, dan Tantangan Lapangan
Meski dihujani kritik, program MBG punya tujuan mulia, memperbaiki gizi anak-anak sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat.
Baca Juga: Cara Pemula Mendapatkan Uang dari TikTok Affiliate