PurwakartaOnline.com - Kerajaan Pajajaran, tanah yang kaya akan sejarah, pernah menjadi saksi bisu kejayaan di bawah pemerintahan Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan Prabu Siliwangi. Namun, setiap kejayaan memiliki akhirnya sendiri. Pada tahun 1579, bayang-bayang kehancuran menghampiri Kerajaan Pajajaran, menandai keruntuhan sebuah kekaisaran yang pernah berdiri megah.
Prabu Siliwangi: Raja Pembangun dan Pejuang
Prabu Siliwangi, raja pertama Kerajaan Pajajaran, bukan hanya seorang penguasa yang berdaulat, tetapi juga seorang pejuang dan pembangun yang tangguh. Meskipun nama aslinya tidak pernah terungkap, julukan Prabu Siliwangi melekat erat karena keberaniannya dalam memimpin dan melindungi kerajaannya.
Dalam masa mudanya, Prabu Siliwangi menunjukkan ketangguhan sebagai seorang ksatria. Ia membangun fondasi kekuasaannya melalui pernikahan dengan Nyi Subanglarang, seorang puteri yang beragama Islam. Pernikahan ini tidak hanya mengukuhkan hubungan antara dua kerajaan, Pajajaran dan Galuh, tetapi juga membuka jalan bagi bersatunya dua kekuatan di Jawa Barat.
Puncak Kejayaan: Masa Emas Sri Baduga Maharaja
Di bawah kepemimpinan Sri Baduga Maharaja, Kerajaan Pajajaran mencapai puncak kejayaan. Masa keemasan ini ditandai dengan pembangunan spiritual dan material yang menggairahkan kehidupan rakyat. Sri Baduga menciptakan Maharena Wijaya, talaga besar yang menjadi kebanggaan kerajaan. Ia memperkuat angkatan perang, membangun tempat pertunjukan, dan memberikan desa perdikan kepada para pendeta.
Pembangunan material ini terdokumentasi dalam Prasasti Kabantenan dan Batutulis, meskipun sebagian besar telah terkikis oleh waktu. Sri Baduga Maharaja dengan tegas mengatur kerajaan, memberikan landasan spiritual, dan menjalin harmoni di antara rakyatnya.
Keruntuhan Kejayaan: Serangan dari Kesultanan Banten
Sayangnya, kejayaan tidak selalu abadi. Pada tahun 1579, Kerajaan Pajajaran harus menyerah pada serangan dari Kesultanan Banten. Maulana Yusuf, pemimpin kesultanan tersebut, berhasil membawa pulang Palangka Sriman Sriwacana, singgahsana raja Kerajaan Pajajaran, sebagai tanda kekuasaan baru.
Batu besar berukuran 200x160x20 cm itu menjadi saksi bisu kehancuran. Tradisi politik mengharuskan batu tersebut dibawa ke Banten, memastikan tidak mungkin lagi ada dinasti baru di Pakuan Pajajaran. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, mengkilap atau berseri, simbol kejayaan yang telah pudar.
Jejak Keruntuhan: Orang Baduy dan Kehidupan Pascakejayaan
Setelah keruntuhan, beberapa punggawa istana Pajajaran dikabarkan menetap di wilayah yang kini dikenal sebagai Cibeo Lebak Banten. Mereka, yang kemudian dikenal sebagai orang Baduy, mempertahankan tata cara kehidupan lama yang ketat. Mereka menjadi saksi hidup kejayaan yang pernah ada.
Artikel Terkait
Kisah Kerajaan Pajajaran: Sejarah Kehidupan Politik Negeri Sunda yang Menakjubkan Hingga Keruntuhannya!
Kerajaan Pajajaran: Asal Usul dan Sejarah Singkat di Wilayah Jawa Barat pada Masa Hindu-Budha!
Jejak Kerajaan Pajajaran: Letak, Pendiri, dan Peninggalan Kebudayaannya yang Menakjubkan di Indonesia!
Sistem Politik Feudal di Kerajaan Pajajaran: Jejak Sejarah yang Masih Dijaga dan Dilestarikan!
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Pajajaran: Bergantung pada Kegiatan Agraris dan Sektor Maritim!
Kehidupan Sosial Masyarakat Kerajaan Pajajaran: Pelapisan Profesi, Kekayaan Seni dan Budaya yang Mengagumkan!
Sikap Toleransi dan Keberagaman di Kerajaan Pajajaran: Kehidupan Agama yang Beragam pada Masa Lalu!
Prabu Siliwangi itu Siapa? Kejayaan Raja Pajajaran yang Menggetarkan Tanah Sunda!
Mengungkap Nama-nama Keturunan Prabu Siliwangi: Legenda Raja Pajajaran
Kehidupan Sosial Kerajaan Pajajaran: Memahami Esensi Budaya Masyarakat Sunda