PURWAKARTA ONLINE - Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, tidak hanya dikenal sebagai ulama dan presiden, tetapi juga sebagai seorang wartawan yang produktif.
Karier jurnalistiknya dimulai pada tahun 1959 ketika ia bekerja sebagai guru dan kepala madrasah di Pesantren Tambakberas, Jombang.
Di saat yang sama, Gus Dur juga menjadi wartawan untuk Majalah Horizon dan Budaya Jaya.
Kemampuan menulis Gus Dur semakin terasah ketika ia menempuh pendidikan di Timur Tengah.
Baca Juga: Bu Guru Salsa Buka Suara, Saya Tertipu dan Mohon Maaf kepada Semua Pihak
Di Mesir dan Irak, ia aktif menulis untuk majalah Asosiasi Pelajar Indonesia.
Kembali ke Indonesia pada 1971, Gus Dur bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), di mana ia menjadi kontributor utama Majalah Prisma.
Namun, puncak karier jurnalistiknya adalah ketika ia aktif menulis untuk Majalah Tempo.
Dalam kurun waktu 1975-1992, Gus Dur menulis 105 artikel untuk Tempo.
Bahkan, Goenawan Mohamad, Pemred Tempo kala itu, sampai menyediakan meja khusus untuk Gus Dur karena produktivitasnya yang tinggi.
Baca Juga: Bojan Hodak Ungkap Alasan Ganti Kiper di Laga Persebaya vs Persib
Gus Dur tidak hanya menulis, tetapi juga aktif berdiskusi dengan rekan-rekan jurnalis.
Kedekatannya dengan dunia pers ini membentuk karakter Gus Dur sebagai seorang pemikir yang kritis dan terbuka, nilai-nilai yang ia bawa hingga menjadi presiden.***