“Kalau mau bangun, ya nunggu panen cengkeh. Itu bentuk kesabaran dan keikhlasan seorang kyai,” jelasnya.
Akar Kesalahpahaman: Ro’an Disalahartikan
Salah satu hal yang paling disorot dalam tayangan Trans 7 adalah praktik Ro’an di pesantren.
Namun, Hadi Musa menilai media tidak memahami makna sebenarnya dari tradisi tersebut.
“Ro’an itu bukan pungutan. Itu latihan hati, bentuk pengabdian santri,” katanya.
Ia menjelaskan, Ro’an merupakan bentuk tabarukan atau mencari berkah, bukan praktik transaksional.
Bahkan, nilai pemberian dalam Ro’an bersifat sukarela dan disesuaikan kemampuan santri.
“Ro’an itu cara santri belajar keikhlasan dan kebersamaan. Nilainya bukan di uang, tapi di niat,” tambahnya.
Seruan Aksi Damai Alumni Pesantren
Kemarahan publik pesantren kini mengarah pada langkah terukur.
Hadi Musa mengungkapkan, alumni Lirboyo dari berbagai daerah — Jawa Barat, Jakarta, hingga Banten — tengah menyusun rencana aksi damai.
“Kami akan gelar aksi damai, bukan untuk marah, tapi untuk meluruskan dan menjaga kehormatan pesantren,” ungkapnya.
Aksi ini rencananya juga akan disertai dengan permintaan resmi kepada Trans 7 dan Chairul Tanjung agar melakukan klarifikasi dan permintaan maaf terbuka kepada kalangan pesantren.
Baca Juga: Pelajaran Berharga dari Kasus Dina Oktaviani: Ketika Kepercayaan Salah Tempat Berujung Maut
Pesan untuk Media Nasional
Hadi Musa berharap peristiwa ini menjadi pelajaran bagi media nasional agar lebih berhati-hati dalam menyoroti dunia keagamaan.
“Kalau mau bikin liputan tentang pesantren, ya pahami dulu. Jangan asal tampil, tapi menyinggung keyakinan umat,” katanya menutup pembicaraan.
Alumni pesantren kini berdiri bersama, menyerukan agar masyarakat tidak terpengaruh oleh tayangan yang menyesatkan.