Purwakarta Online - Kelembagaan tradisional dan modern berperan penting dalam mendukung praktik peternakan yang berkelanjutan, meskipun sering kali menghadapi tantangan dalam harmonisasi nilai-nilai lokal dan tuntutan modernisasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan peternakan tidak hanya ditentukan oleh aspek teknis dan ekonomi, tetapi juga oleh penguatan kelembagaan, moralitas, dan nilai sosial-budaya yang melekat pada komunitas peternak. Artikel ini merekomendasikan pendekatan holistik yang mengintegrasikan nilai lokal dalam perumusan kebijakan pembangunan peternakan di wilayah pedesaan.
ABSTRAK
Peternakan bukan hanya aktivitas ekonomi, tetapi juga fenomena sosial-budaya yang kompleks dalam kehidupan masyarakat agraris di Indonesia. Penelitian ini mengkaji dimensi sosial budaya dalam praktik peternakan melalui pendekatan sosiologis, dengan fokus pada lima aspek utama: status komoditas ternak, peran sosial peternak, kelembagaan peternakan, moralitas dalam pemeliharaan ternak, dan rasionalitas peternak dalam pengambilan keputusan. Temuan menunjukkan bahwa ternak memegang nilai simbolik yang tinggi dalam struktur sosial dan budaya lokal, sementara peternak menjalankan fungsinya tidak hanya sebagai produsen, melainkan sebagai penjaga nilai-nilai tradisional dan hubungan sosial. Kelembagaan tradisional dan modern saling berinteraksi dalam menopang keberlanjutan usaha ternak. Studi ini menegaskan bahwa keberhasilan sistem peternakan tidak dapat dilepaskan dari pemahaman kontekstual atas aspek sosial budaya yang melingkupinya.
Kata Kunci: peternakan, aspek sosial budaya, rasionalitas peternak, kelembagaan, Indonesia
PENDAHULUAN
Peternakan memiliki makna yang luas dalam struktur masyarakat agraris, tidak hanya sebagai penggerak ekonomi, tetapi juga sebagai elemen budaya dan simbolik. Di Indonesia, interaksi antara manusia dan ternak memperlihatkan keterkaitan erat antara tradisi dan proses modernisasi yang terus berkembang. Ternak bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga berperan sebagai simbol status, bagian dari ritus budaya, hingga sarana ekspresi identitas sosial.
Praktik peternakan juga ditopang oleh sistem nilai dan etika yang diwariskan turun-temurun. Kelembagaan lokal dan modern memainkan peran signifikan dalam mendukung keberlanjutan sektor ini, sementara rasionalitas peternak sering kali menggabungkan antara logika ekonomi dengan kearifan lokal. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan menganalisis dimensi sosial budaya dalam peternakan, guna mendorong pendekatan yang lebih kontekstual dalam pembangunan peternakan berkelanjutan.
METODE PENELITIAN
Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan metode studi pustaka dan interpretasi sosiologis terhadap praktik peternakan di beberapa wilayah Indonesia. Data diperoleh dari literatur akademik, dokumen etnografis, serta hasil studi lapangan sebelumnya yang relevan dengan tema sosial budaya peternakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ternak sebagai Komoditas Sosial dan Budaya
Ternak di Indonesia, seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba, bukan hanya komoditas ekonomi tetapi juga simbol kehormatan, prestise sosial, dan identitas kultural. Di beberapa daerah, hewan ternak digunakan dalam upacara adat, simbol kekayaan, dan bahkan sebagai "mata uang budaya". Domba Garut, misalnya, berperan dalam seni laga ketangkasan yang memiliki nilai ekonomi sekaligus estetika. Demikian pula kerbau di masyarakat Toraja yang menjadi elemen utama dalam ritual kematian dan representasi struktur sosial.
Peran Sosial Peternak
Peternak memegang posisi strategis dalam masyarakat, tidak hanya sebagai produsen tetapi juga agen budaya. Mereka mentransmisikan pengetahuan dan nilai peternakan secara turun-temurun, memelihara hewan bukan hanya untuk produksi, tetapi sebagai bagian dari sistem nilai dan praktik hidup. Gotong royong dan pelibatan dalam acara sosial berbasis ternak menunjukkan fungsi sosial yang kuat.