Skandal Digitalisasi Pendidikan Proyek Chromebook Rp9,88 T Jadi Sumber Korupsi dan Kekecewaan

Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan penggunaan sistem Chrome OS dan Chrome Device Management (CDM).

Sayangnya, kesepakatan ini ditindaklanjuti tanpa evaluasi objektif, dan pengadaan dilakukan secara masif.

Dugaan kuat muncul bahwa proyek lebih bernuansa “jualan teknologi”, bukan pemberdayaan pendidikan.

Sekolah Gagal Menyerap Teknologi

Banyak guru di lapangan menyatakan tidak pernah mendapat pelatihan, perangkat tak bisa digunakan karena:

• Jaringan internet tak stabil,
• Sistem login yang rumit,
• Tidak kompatibel dengan aplikasi lokal,
• Bahkan tidak ada petunjuk penggunaan.

Proyek ini tampaknya lebih fokus pada pengadaan kuantitatif, bukan transformasi kualitas belajar. Sebuah ironi pahit ketika pendidikan dijadikan ajang bagi korupsi teknologi.

Baca Juga: Fakta di Balik Kerusuhan Kejari Purwakarta, Api Membara dan Massa Dorong Aparat

Meski belum ditahan, status tersangka yang disematkan kepada Nadiem Makarim sosok yang pernah dielu-elukan sebagai simbol generasi muda inovatif telah mengubah arah narasi digitalisasi pendidikan nasional.

Penyidik Kejagung berkomitmen untuk menyisir seluruh rantai keputusan, dari perencanaan, pertemuan dengan vendor, hingga pengadaan barang.

Kasus Chromebook ini bukan sekadar korupsi perangkat. Ini adalah kegagalan sistemik dalam mengelola transformasi pendidikan.

Saat digitalisasi dilakukan dengan tergesa-gesa, tanpa kesiapan sumber daya manusia, dan sarat kepentingan vendor yang lahir bukanlah kemajuan, tapi kehancuran kepercayaan publik.

Digitalisasi pendidikan seharusnya inklusif, adaptif, dan berbasis kebutuhan nyata.

Baca Juga: Ramalan Zodiak Virgo 5 September 2025: Fokus Karier, Cinta Manis, Rezeki Datang Tepat Waktu

Tapi proyek Chromebook membuktikan bahwa tanpa pengawasan ketat dan niat bersih, bahkan teknologi pun bisa jadi senjata untuk korupsi.***