PURWAKARTA ONLINE - Indonesia masih terjebak dalam jerat ekonomi ekstraktif. Inilah yang disoroti oleh Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bima Yudhistira.
Ia mengingatkan bahwa strategi pembangunan dengan mengandalkan pengerukan sumber daya alam seperti tambang nikel, batu bara, maupun lahan justru membawa lebih banyak kerugian dibandingkan manfaat.
“Ekstraktif ini selalu buat kita kejang-kejang. Kenapa? Karena sensitifitasnya di luar kendali pemerintah maupun pelaku usaha domestik,” tegas Bima.
Baca Juga: Tips Menjadi Konsumen Cerdas dan Bijak dalam Berbelanja
Harga yang Tak Bisa Dikendalikan
Selama ini Indonesia sering bangga dengan status sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia.
Bahkan, muncul wacana bahwa Indonesia bisa menjadi “OPEC-nya nikel.” Namun, kenyataannya tidak seindah itu.
Harga nikel di pasar global bisa jatuh sewaktu-waktu tanpa bisa dikendalikan Indonesia. “Siapa yang tahu harga nikel hancur seperti hari ini?” tanya Bima.
Padahal, nikel selama ini disebut-sebut sebagai bahan utama baterai listrik yang permintaannya terus meningkat. Fakta pahitnya: cadangan terbesar belum tentu berarti bisa menguasai harga.
Baca Juga: Daftar Lengkap 11 Pemain Asing Persib Bandung Musim 2025/2026
Alam Rusak, Rakyat yang Menanggung
Masalah lain yang lebih mengkhawatirkan adalah kerusakan lingkungan.
Hutan gundul, tanah longsor, air yang tercemar, hingga hilangnya ruang hidup masyarakat lokal—semua menjadi bagian dari biaya mahal yang harus dibayar akibat eksploitasi berlebihan.
“Kalau kita bicara ekonomi makro saja sudah rugi. Belum lagi eksternalitas negatif: kesehatan masyarakat, kerusakan ekosistem, semuanya ikut jadi korban,” jelas Bima.