PurwakartaOnline.com - Perang Bubat, suatu kisah yang telah merajut benang sejarah antara Kerajaan Sunda dan Majapahit, menjadi legenda tersendiri yang terukir dalam memori zaman.
Pertempuran yang tak seimbang itu melibatkan rombongan pengantar putri Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi, dan membawa malapetaka yang mendalam.
Di balik tragedi ini, tersembunyi konflik kekuasaan dan intrik cinta yang memperumit kisah para penguasa pada masa itu.
Latar Belakang:
Keberangkatan rombongan Kerajaan Sunda ke Majapahit menjadi titik tanda tanya besar.
Raja Sunda, Linggabuana Wisesa, dianggap mengambil keputusan sepihak tanpa berdiskusi dengan sang Mahapatih Amangkubhumi Bunisora.
Padahal, pada waktu itu, Sunda menjadi satu-satunya wilayah di Pulau Jawa yang belum tunduk ke kekuasaan Majapahit sebagaimana dicetuskan pada Sumpah Palapa Gajah Mada.
Baca Juga: Gibran Tertutup dari Wartawan: Silaturahmi Berbau Politik di Solo
Konflik Kepentingan:
Tindakan kontroversial raja Sunda yang langsung menyetujui pernikahan putrinya dengan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, tanpa pertimbangan serius, memicu keraguan dan pertanyaan.
Mahapatih Bunisora pun ikut membela pandangan ini. Dalam buku "Perang Bubat 1279 Saka: Membongkar Fakta Kerajaan Sunda Vs Kerajaan Majapahit," dipaparkan bahwa rombongan Sunda yang datang ke Majapahit untuk mengantarkan Dyah Pitaloka Citraresmi tidak diikuti oleh sang patih Bunisora.
Inilah awal dari pertaruhan besar yang akan terjadi di lapangan Bubat.
Diplomasi dan Benturan:
Di lapangan Bubat, pertemuan antara Maharaja Linggabuana Wisesa dan Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada menjadi titik awal diplomasi yang penuh ketegangan.