Kita seringkali terlalu sibuk mencari kesalahan orang lain, tapi buta terhadap penyakit hati sendiri. Kesombongan, iri hati, dengki, munafik—semuanya bercokol, tapi diabaikan, bahkan dianggap biasa.
Penyakit paling berbahaya itu bukan yang melukai tubuh, tapi penyakit yang justru dapat membutakan jiwa.
Penyakit hati membuat manusia tidak mampu melihat mana yang hak dan mana yang batil. Dan ketika hati sudah gelap, cahaya kebenaran tak akan pernah bisa masuk.
Para filsuf besar, baik dari Timur maupun Barat, pernah mengatakan bahwa kebenaran sejati bukan milik mereka yang merasa tahu segalanya, tapi milik mereka yang menyadari bahwa mereka tak tahu apa-apa. Karena yang benar-benar tahu hanyalah DIA—Sang Maha Tahu.
Lalu, untuk apa kita sombong?
Untuk apa kita merasa paling benar, paling suci, paling tahu segalanya?
Pagi itu, yang awalnya hanya niat menyapu halaman, justru menyapu pikiranku. Menyapu kesombongan yang diam-diam berakar dalam hati. Menyapu kebodohan yang menyamar sebagai kebijaksanaan.
Dan aku pun sadar, pagi bukan hanya tentang waktu, tapi juga tentang kesempatan—untuk menjadi manusia yang lebih rendah hati. Karena sejuknya pagi hanya akan berarti bila hati kita pun ikut sejuk menerima kebenaran.***