PURWAKARTA ONLINE - Ketentuan hukum penyelesaian hutang-piutang, khususnya dalam rangka melindunggi kepentingan kreditur (tertanggung), hukum positif Indonesia sebenarnya sudah memberikan jalan keluar dengan beberapa alternative pilihan yaitu berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Kepailitan dan Ketentuan Undang-Undang Perasuransian (Usaha perasuransian).
Diantara ketiga alternative pilihan tersebut,ketentuan Undang-Undang Perasuransianlah yang lebih banyak memberikan kepasatian dan perlindungan hukum terhadap nasabah.
Pasal 20 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian (selanjutnya dalam skripsi ini di sebut sebagai Usaha Perasuransian) menyebutkan bahwa kedudukan nasabah asuransi dalam perusahaan asuransi yang dinyatakan pailit merupakan kreditur yang diutamakan.
Tetapi ketentuan dalam Usaha Perasuransian ini jelas tidak sejalan dengan apa yang dianut oleh Undang-undang Kepailitan.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa untuk tertanggung yang pembayaran premi asuransinya telah jatuh tempo dan berhak atas pembayaran klaim asuransi, maka tertanggung yang bersangkutan menempati kedudukan sebagai kreditur yang diutamakan (preferen).
Sedangkan bagi tertanggung yang belum berhak atas pembayaran klaim asuransi, baik karena polisnya belum jatuh tempo (asuransi jumlah) atau peristiwanya (evenemen) belum terjadi, maka kedudukannya adalah sebagai kreditur biasa (konkuren).
Secara logika pendapat tersebut di atas boleh saja di terima bila kesepakatan untuk menyelesaikan perkara kepailitan asuransi atau pemberesan harta pailit perusahaan asuransi mengacu pada ketentuan pasal 20 ayat (2) Usaha Perasuransian, sehingga otomatis tertanggung ditempatkan sebagai kreditur preferen.
Tetapi masalahnya akan lain bila kurator atau BHP memiliki pandangan sendiri dan bertolak belakang dengan apa yang di maksud di atas.
Yang paling mengkhawatirkan adalah bila kurator atau BHP secara mutlak berpedoman pada ketentuan pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata, dimana sepanjang masih ada kreditur pemegang hak jaminan kebendaan (kreditur separatis yang berada di luar tertanggung), maka kedudukan tertanggung sebagai kreditur istimewa atau privilege menjadi tidak berarti.
Karena menurut ketentuan pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata, kedudukan kreditur pemegang hak jaminan kebendaan (gadai, hipotek,fidusia dan hak tanggungan) lebih tinggi dari kreditur yang diistimewakan (privilege).
Ini berarti bahwa kedudukan Tertanggung pemegang polis atau yang memiliki hak menikmati (beneficiary) atas polis adalah sebagai kreditur nomor dua.
Walaupun namanya tetap sebagai kreditur preferen yang di istimewakan (privilege), tetapi hak-haknya baru dibayarkan setelah hak-hak para kreditur preferen yang separatis diselesaikan lebih dahulu.
Sebenarnya ada penggalan kalimat terakhir dari pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata yang perlu dicermati lebih dalam sehingga keberadaan pasal 20 ayat (2) Usaha Perasuransian dalam penerapannya tidak menimbulkan dilema.
Penggalan kalimat terakhir pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata tersebut berbunyi “…….Kecuali dalam hal Undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya”.
Menunjuk ketentuan di atas jelaslah bahwa ketentuan pasal 20 ayat (2) Usaha Perasuransian yang menempatkan tertanggung pemegang polis asuransi sebagai kreditur yang diutamakan menjadi tegas.
Artikel Terkait
Rp 600 Triliun subsidi BBM dinikmati menengah keatas, sebagian dialihkan ke Bansos!
Kakek ini nampak murung dan tak bahagia menikahi wanita cantik
Camat Kiarapedes, H. Diaudin: Komunikasi yang baik jadi kunci berjalannya pemerintahan Desa!
Kepoin tato di tubuh seksi Michele Morrone! Bintang utama di The Next 365 Days, Season 3
LINK NONTON The Next 365 Days Season 3 Sub Indo FULL HD Bukan di Indo XXI, Drakorindo, Rebahin, LK21 terbaru!
Modus-modus penipuan asuransi yang harus kamu pahami agar tidak jadi korban!
Gara-gara 4 hal ini, penipuan asuransi marak di Indonesia
Tips Jitu agar Terhindar dari Penipuan Asuransi
Untuk apa Reasuransi?
Mengenal perusahaan Reasuransi