PURWAKARTA ONLINE - Indonesia memang terus mencatat pertumbuhan ekonomi positif.
Namun, pertumbuhan itu rapuh dan tidak menjamin Indonesia bisa naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi.
Peringatan ini datang dari Direktur Eksekutif Celios, Bima Yudhistira, yang menyoroti ketergantungan besar pada sektor ekstraktif.
“Ekstraktif ini selalu buat kita kejang-kejang. Karena sensitifitasnya di luar kendali pemerintah maupun pelaku usaha domestik,” ungkap Bima.
Baca Juga: Persib Bandung Resmi Datangkan Andrew Patrick Jung, Lengkapi 11 Pemain Asing Musim 2025/2026
Pertumbuhan Semu
Ekonomi Indonesia kerap didorong oleh lonjakan harga komoditas: nikel, batu bara, dan minyak sawit. Tetapi ketika harga jatuh, pertumbuhan langsung melemah.
“Siapa yang tahu harga nikel hancur seperti hari ini?” kata Bima.
Artinya, pertumbuhan ekonomi yang berbasis ekstraksi alam hanya semu.
Ia tidak stabil, mudah terombang-ambing pasar global, dan tidak menghasilkan daya tahan jangka panjang.
Jalan Panjang Menuju Negara Maju
Perjalanan Indonesia menuju “Indonesia Maju” memang masih panjang. Meski saat ini masuk kategori upper middle income country, itu tidak otomatis menjamin Indonesia akan jadi negara maju.
Baca Juga: Ancaman Nyata di Balik Tambang, Indonesia Harus Lepas dari Jerat Ekonomi Ekstraktif
Dari 194 negara di dunia, hanya sedikit yang berhasil naik kelas menjadi high income country. Banyak negara justru gagal di tengah jalan, meski punya sumber daya alam melimpah.
Kegagalan itu, menurut Daron Acemoglu dan James Robinson, terjadi karena pilihan institusi: