ragam

Ironi di Balik Budaya Kopi Indonesia, Eksportir Besar Tapi Konsumen Kelas Dua

Sabtu, 25 Januari 2025 | 21:00 WIB
Zaenx petani kopi asal Purwakarta sedang menikmati kopi di Kedai Haji Aleh, Pangalengan Bandung (29/12/2019). Indonesia dikenal sebagai eksportir kopi terbaik dunia, tetapi masyarakatnya justru mengonsumsi kopi kualitas rendah. (Dok. Poktan Barong Mulya)

PURWAKARTA ONLINE - Indonesia adalah salah satu negara penghasil kopi terbesar di dunia, dengan varietas Arabika dan Robusta yang mendominasi pasar global.

Namun, di balik kebanggaan ini, terdapat ironi yang menyayat hati.

Apa itu? Mayoritas kopi berkualitas tinggi diekspor, sementara masyarakat lokal hanya menikmati kopi kelas dua.

Sejarah mencatat, kopi pertama kali masuk ke Indonesia pada masa penjajahan Belanda.

Baca Juga: Alternatif Streaming Resmi untuk Menonton Film 365 Days Sub Indo

Bibit kopi Arabika dibawa untuk mengakhiri dominasi Arab dalam perdagangan kopi.

Perkebunan besar didirikan di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi, dengan infrastruktur transportasi yang mendukung ekspor.

Namun, hama kopi pada abad ke-19 menghancurkan perkebunan Arabika.

Sebagai solusi, Belanda memperkenalkan varietas Robusta yang lebih tahan terhadap serangan hama.

Baca Juga: Konflik ASMARA GEN Z Episode 54: Ketegangan Fattah, Sandy, dan Aqeela

Hingga kini, Robusta menyumbang 90% produksi kopi nasional.

Pasca kemerdekaan, industri kopi beralih ke tangan petani kecil dan koperasi.

Sayangnya, sistem ini membuat kopi berkualitas tinggi lebih banyak diekspor ke luar negeri.

Produk kopi terbaik Indonesia sering kali diolah oleh merek-merek internasional seperti Starbucks dan Coffee Bean, lalu dijual kembali dengan harga tinggi.

Halaman:

Tags

Terkini