PURWAKARTA ONLINE - Di keindahan sore hari yang elok dan sejuk, dengan hembusan angin yang lembut, aku duduk di depan rumah.
Di tanganku, secangkir kopi hitam mengepulkan aroma yang khas, menambah kenikmatan suasana.
Hari ini, aku ingin menyapa bulan ini—bulan Agustus—yang katanya penuh momentum, terutama tentang kemerdekaan negeri yang kita cintai dan tempati.
"Apa kabar, Agustus? Apakah engkau baik-baik saja?" Aku bertanya dalam hati.
Namun, sepertinya kau sedang bersedih. Matahari pun enggan menampakkan sinarnya, seolah ikut larut dalam kesunyian.
Apakah engkau sudah tak mampu lagi memberikan kehangatanmu? Orang-orang mulai bertanya-tanya, apakah alam sudah bosan terhadap kita.
Aku yakin, kau memang sedang berduka. Dan anehnya, aku pun merasakan hal yang sama. Jika engkau kesal, tentu aku juga ikut merasakannya.
Lihatlah, manusia sudah begitu pandai hingga alam pun mereka rusak dengan tangan-tangan "kreatif" mereka.
Meski begitu, aku tetap bersyukur karena masih bisa merasakan segarnya udara dan hijaunya pepohonan.
Aku teringat pada mereka yang tinggal di perkotaan. Mereka tak lagi bisa menghirup udara segar seperti yang Engkau ciptakan.
Mereka memilih menghirup udara buatan, seolah lupa akan nikmatnya aroma tanah basah atau angin sore yang alami. Bukankah ini salah satu wujud kesombongan manusia?
Di bulan Agustus ini, meski alam seperti muram, orang-orang terlihat bahagia. Saat aku keluar rumah, bendera-bendera merah putih berjajar rapi di depan rumah dan di pinggir jalan.