PIRWAKARTA ONLINE - Ketegangan antara kota kecil, pusat data, dan ambisi percepatan AI mencerminkan dilema besar dunia modern antara ekonomi dan energi.
Di balik gemerlap kecerdasan buatan dan lonjakan nilai saham teknologi, ada cerita lain yang jarang dibahas: kegelisahan kota-kota kecil.
Di saat para raksasa teknologi dan tokoh politik seperti Donald Trump ingin mempercepat pembangunan pusat data, banyak komunitas lokal justru berkata, perlambat dulu.
Pusat data kini menjadi jantung revolusi AI. Amazon, Microsoft, Google, Meta, hingga Oracle menanamkan ratusan miliar dolar untuk membangun fasilitas digital raksasa.
Baca Juga: Stock Split BRI: Alasan Saham Jadi Lebih Terjangkau dan Ramah Investor Kecil
Janjinya besar: lapangan kerja, pajak daerah, dan pertumbuhan ekonomi. Namun realitas di lapangan tidak selalu semanis itu.
AI Datang, Tagihan Listrik Ikut Naik
Di banyak wilayah Amerika Serikat, warga mulai merasakan dampak langsung pembangunan pusat data. Konsumsi listrik melonjak, jaringan energi tertekan, dan biaya listrik ikut terkerek naik.
Studi dari Universitas Carnegie Mellon dan North Carolina State menunjukkan, permintaan energi dari pusat data dan penambangan kripto berpotensi menaikkan tagihan listrik hingga 8 persen secara nasional, bahkan 25 persen di wilayah tertentu pada 2030.
Bagi kota kecil, ini bukan sekadar angka. Ini soal biaya hidup, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan ekonomi.
Baca Juga: BRI Usia 130 Tahun, Tetap Jadi Mesin Dividen Negara dan Andalan Investor
Tak heran jika sejak 2023, proyek pusat data senilai 162 miliar dolar diblokir atau ditunda akibat penolakan lokal yang datang dari berbagai spektrum politik.
Yang menarik, isu ini tidak lagi terbelah berdasarkan partai. Pusat data bukan soal kiri atau kanan, melainkan soal siapa yang menanggung bebannya.
Trump dan Logika Mempercepat